Antara Cinta dan Sastra
Antara Cinta danSastra
Wahai Kekasihku.
Untailah prolog cerita
aku dan kamu
Akan kurangkai plot cintaku
dan cintamu
Seindah majas di
dalam kalbu
Wahai Pujaan Hatiku..
Jadikanlah aku protagonis dalam
hatimu
Akan ku
jadikan realisme padu
menjadi romantisme yang
syahdu
Bila tahap konflik telah
tiba
Jangan kau aposiopesis cinta
kita
Biarlah kita
menjadi referen dari kata cinta
Menjadi subjek dalam
setiap gramatika
Wahai Pangeranku..
Itulah aptronimku untukmu
Kau buat disprosodi menyerangku
Seakan frasa yang
mampu ku eja hanya satu
"AKU CINTA
KAMU"
Wahai Malaikat
Cintaku..
Harmonisasikanlah hatiku dan hatimu
Sehingga
terbentuk eufoni nama kita
Yang mengalunkan
sajak cinta berepifora
Mengikat cerita
cinta kita selamanya
Jika saat epilog tiba,
tanpa ada konklusi yang berarti..
Mungkin kisah kasih
kita harus disunting ulang
I Will Bring Back Your Life
I Will Bring
Back Your Life
Pertemuanku
dengan dia pertama kali memang terjadi pada musim kemarau, dibawah terik sinar
matahari yang terus menyengat kulit. Meskipun sedang musim kemarau aku merasa
seperti berada pada musim yang belum pernah aku rasakan. Musim dimana bunga
bunga sakura bermekaran, aroma wangi tersebar dimana-mana dan angin segar
meniup kalbuku. Mungkin ini semua hanya hayalan, ilusi, mimpi indah di siang
hari atau khayalan yang sangat nyata keberadaannya. Semakin kulihat,
semakin kupandang, semakin yakin pula aku akan kenyataan dari khayalanku ini. Lama-kelamaan
aku percaya, ini memang sebuah kenyataan.
Kulihat seorang bidadari yang baru turun dari langit berdiri
di depan sekolah tuaku. Kulihat, dia terus mengamati sekolah tua ku ini. Memang
sekolahku tergolong biasa saja. Dengan terbuat dari kayu, tetapi terlihat
sangat kokoh sekali dengan pepohonan di sekelilingnya. Saat pertama ku
melihatnya, aku merasa pernah kenal dengan anak itu. Bahkan aku merasa ada
hubungan batin antara aku dan dia. Aku merasakan suatu kedekatan batin yang tak
wajar. Bisa jadi ini semua seperti de-javu. Kadang-kadang kita mengalaminya
kan? Walau baru pertama pertama jumpa tapi merasa pernah melihatnya.
Tiba-tiba
“AW” sahutku. “Hey kuh ! jangan melamun terus….”. Aku tersadar aku sedang
bermain futsal dengan teman teman sekelasku. Dengan kepala yang agak pening.
Aku ambil bolanya dan aku berikan ke mereka. Kuputuskan untuk keluar dari
permainan dan menghampiri anak perempuan yang terlihat sangat bingung itu. Saat
aku menghampiri dia ada rasa yang tak biasa aku rasakan. Rasa yang tak pernah
muncul sebelumnya.
Tiba
tiba “Hay Zahra!” Sapa suara yang tak asing ditelingaku. Kulihat kearah suara
itu berasal. Ya itu adalah Sandi. Teman sekelasku yang duduk sebangku denganku.
Saat kutoleh anak yang bernama Zahra itu tadi ,aku tersihir seperti
patung yang tak bernyawa melihat senyumnya yang membekukan hati. Tak bisa
kulangkahkan kakiku dari tempat pijakanku sekarang. Sampai akhirnya dia pergi
dengan teman sebangkuku itu tadi.
Keesokan
harinya aku kembali bertemu dengan perempuan yang cantik jelita itu. Dan saat
itu aku merasa senang sekali melihatnya dia memakai seragam sekolahku, yang
akhirnya dia akan bersekolah di sekolah tuaku ini.
Jam
pelajaran pun dimulai, aku dibuat kaget, shock, senang dan perasaan lainnya
saat Wali Kelasku Bu Har memasuki kelasku dan hendak mengumumkan ada
siswi baru. Dan taernnyata tak salah dugaanku. Anak itu dengan anggunnya
memasuki ruangan kelas yang luasnya sekitar 7 x 5 meter itu. Semua anak
bersorak sorak, tetapi aku hanya diam seribu kata. Saat mulai memperkenalkan
baru aku tahu. Dengan singkatnya dia menjelaskan bahwa ia bernama Zahra
Inuko. Dia adalah anak seorang pengusaha kaya yang ada di kota. Dia
pindah kesini karena ada alasan yang tak bias dibicarakan. Tiba tiba Bu Har
menyuruh Sandy pindah kebelakang dan menyurh Zahra untuk duduk di sampingku.
Sandy yang terlihat protes ke Bu Har akirnya merelakannya dengan tujuan agar
ada anak yang menjaganya. Dan aku sebagai ketua kelas disini diharap bisa
membantu Zahra untuk bisa beradaptasi dengan situasi kelas ini.
Jam jam pelajaran pun berlalu tanpa aku perhatikan. Saat itu aku hanya diam
karena grogi berada di dekat Zahra. Meskipun banyak perempuan yang dekat
denganku tetapi hanya Zahra yang bisa membuatku seperti itu. Saat jam
istirahat, aku beranikan diri untuk berbincang dengannya. Ya namaku
adalah Kukuh Pambudi. Usiaku 16 tahun kelas 1 SMA di sebuah desa masih segar
udaranya. Bintangku Virgo yang menandakan aku adalah seorang yang
perfectionist. Dan ternyata aku dan dia mempunyai suatu kesamaan yaitu tanggal
lahir yang sama hanya saja aku lebih tua darinya 1 tahun. Saat itulah hari hari
bahagiaku mulai kumulai dengan lembaran baru.
Hari demi hari selalu aku lewati bersamanya. Saat itu pada hari ketiga Zahra
dipanggil kepala sekolah yang terkenal sangat kejam itu. Saat kuantarkan dia
aku juga disuruh masuk olehnya. Saat itu aku terkejut karena panggilan itu
bukan merupakan suatu panggilan yang serius melainkan hanya untuk menjawab
sebuah pertanyaan. Bu KepSek itu hanya menanyai Zahra dan aku dengan pertanyaan
yang sama yaitu apakah Zahra dan aku punya saudara disini. Kami serentak
menjawab tidak karena aku pun juga baru pindah kesini saat kelas 9 SMP. Setelah
itu kami dipersilahkan keluar. Aku pun bertambah bingung.
Seiring dengan bertambahnya hari, keakrabanku dengan Zahra juga bertambah
hingga kurasa aku mulai suka padanya. Setiap aku ingin mengungkapkan rasa ini,
selalu ada halangan yang datang. Tapi aku menganggap mungkin ini belum
waktunya.
Suatu hari, karena ayahku adalah seorang dokter aku jadi sering membantu
bantunya mengambilkan obat obatan di lemari penyimpanan. Hingga pada suatu saat
aku melihat kepanikan diwajah ayahku saat menangani pasiennya. Beliau tak mau
dibantu karena tidak ingin salah dosis meskipun hanya sedikit. Saat itu aku
belum mau melihat pasien itu, karena kata ayah penyakit pasien itu sangat parah
dan keadaannya sudah sangat kritis. Tetapi hatiku terasa gusar, gundah dan
galau. Kuberanikan diri untuk melihat ke kamar prakter ayahku. Saat kulihat
dari pintu, terlihat hanya rambut yang panjang dan hitam dan sepertinya sudah
tak asing bagiku. Lalu saat ku buka pintu itu hatiku sangat hancur, remuk, dan
pecah. Kulihat Zahra, perempuan yang aku suka tergolek lemah dikamar praktek
ayahku. Saat aku mendekatinya, Zahra terbangun dan terkejut dengan semua ini.
akhirnya aku jelaskan dari awal. Dari pembicaraan itulah aku mengetahui dia
terkena kanker paru-paru stadium 4 yang diprediksikan nyawanya tak lama lagi.
Namun dia masih ingin menikmati dunia yang belum sempat dijelajahinya. Saat
itupun aku meneteskan air mata yang tulus ke tangannya. Saat itu pula aku
mengungkapkan isi hatiku. Tetapi apa daya belum sempat menjawab dia sudah
kritis lagi yang terdengar dari mulutnya hanya kata “BRING MY LIFE BACK”.
Saat itu tangisku pecah. Kupanggil ayah dengan panikku. Ayah menghubungi pihak
RS di kota dan keluarga Zahra. Tak lama kemudian ambulan datang dan segera
membawa Zahra ke RS di kota. Saat itu maksud hati ingin mengantarnya
tetapi ambulan itu sudah penuh dengan keluarganya. Akhirnya aku putuskan untuk
menaiki sepeda gunungku. Ku kayuh pedal sepedaku itu dengan cepat. Saat hendak
menyeberang jalan tak kuperhatikan kanan kiriku. Tiba tiba “Brakk” tak sadar
aku menabrak bangku semen yang ada di pinggir jalan. Lutut, siku dan kaki yang
luka tak menghalangiku untuk melanjutkan kayuhan sepedaku.
Sesampai di Rumah Sakit, aku letakkan sepedaku di depan pintu. Kuberlari menuju
receptionist. Kutanyakan kamar Zahra. Ku berlari dengan kecepatan penuh menuju
ruang IGD di lantai 2. Saat hampir sampai kulihat Ayah, Keluarga Zahra
dan Sandi pun telah berada disitu. Tangis, doa, cemas hanya itu yang bisa aku
lihat dari raut muka mereka. Tak lama kemudian keluarlah seorang mengenakan
seragam putih. Saat itu memang keberadaanku masih jauh dengan pintu kamar IGD
itu. Jadi aku hanya dapat melihat semua kejadian yang terjadi. Kulihat setelah
dokter itu keluar, semua orang menangis menjadi jadi. Semua berlari ke ruang
IGD itu. Karena panik aku pun berlari dengan tetap menangis. Ternyata dokter
itu mengabarkan bahwa Zahra Inuko anak yang berhasil mebekukan hatiku telah
menghembuskan nafas terakhirnya tanpa ada aku didekatnya. Lemas, sedih, marah
perasaan itu berkecambuk di dalam hatiku. Belum sempat dia menjawab cintaku
tetapi ajal terlebih dahulu merengkuhnya. Aku tak sanggup melihatnya untuk
terakhir kalinya. Tetapi aku menguatkan diri untuk tidak menagis didepan
jenazah itu. Saat semua orang keluar dari ruangan itu. Aku berjalan memasuki
ruangan itu dengan menegarkan diri. Tapi tangisku kembali pecah saat kulihat
senyumnya yang masih terlihat di tubuh yang tak bernyawa itu lagi. Ku berlari,
kuraih, kupeluk tubuh itu. Aku menangis dengan tetap memeluknya. Namun saat
tetesan air mata pertama ku jatuh tepat di pipinya kurasakan ada suatu keajaiban.
Detak jantungnya mulai terdekteksi lagi. Ke letakkan kepala Zahra dan ku
berteriak memanggil dokter yang tadi. Saat dokter memasuki ruangan itu lagi aku
berharap aku bisa menjawab permintaan terakhirnya. Aku hanya berkata dalam hati
“I WILL BRING BACK YOUR LIFE” hanya kata itu yang dapat aku ucapkan. Tak lama
kemudian, dokter keluar dengan sumringah. Dokter mengabarkan terjadi suatu
keajaiban yang sangat besar. Dokter mengabarkan Zahra dapat tertolong lagi dan
Zahra juga dikabarkan telah sembuh 100 % dari sakit kankernya. Saat itu lah aku
bersyukur yang tiada henti-hentinya. Tak lama kemudian terlihat Zahra dengan
wajah yang berseri dia berjalan keluar dari IGD dengan langkah yang pasti.
Semua keluarga memeluknya. Menangis, tertawa dan bahagia ekspresi mereka. Lalu
ku duduk di tepi tembok. Kulihat suasana kebahagiaan menyelimuti mereka. Keluar
dari pelukan keluarganya. Zahra berjalan kepadaku dan berkata “Thanks for bring
back my life” Zahra menangis dan memelukku. Aku tak bisa berbuat apa apa. Hanya
tangis yang bisa aku perbuat. Lalu kami pun pulang dengan bahagia.
3 hari setelah insiden itu, Zahra datang ke rumahku. Dia mengajak aku keluar.
Dia ingin berterima kasih kepadaku. Dia mengajakku ke tempat yang romantis.
Disana dia tiba tiba berkata “YA”. Aku bingung dengan maksud perkataannya. Lalu
aku tatap wajahnya. Dia berkata lagi “Ini jawaban pertanyaanmu waktu itu”.
Aku melompat senang, aku berteriak aku berlari kesana-kemari dan tak tahu apa
yan bisa lakukan untuk mengungkapkan rasa senang ini. Lalu aku ajak Zahra untuk
mengukir nama kita berdua dia pohon cendana. Pohon yang selalu
memancarkan aroma harum yang semerbak. Aku kaget melihat sudah ada ukiran nama
dan lubang kecil yang berisi kertas di pohon itu. Setelah kulihat ada nama
Zarah dan Budi untuk selamanya. Awalnya kami bingung. Namun stelah kuambil
kertas kecil dilbuang itu terlihat foto sepasang sejoli yang wajahnya kukenal.
“Ya ini adalah Kepala Sekolah kita” kata Zahra. “ oh aku tau maksud dan tujuan
Bu Kepsek kemarin menanyai seperti itu. Lihat Kau Zahra mirip
dengan Bu Zarah begitu juga namamu dan Lihat aku juga mirip dengan Pak Budi
begitu pula nama kami.” Tetapi yang kutahu pak Budi ini meninggal dunia
saat akan bertunangan deng Bu Zarah. Itu semua yang menyebabkan Bu zarah sangat
mudah tersinggung hatinya.
Lalu kuambil batu dan kutuliskan dibawah tulisan mereka.
ZARAH ISAH DAN
KUKUH PAMBUDI
Selalu bersama untuk selamanya
Dengan
ukiran itu aku berharap agar cinta kita bisa abadi seabadi dunia ini berada.
TAMAT
A Diary to Emil
A diary to Emil
“Anu.. nama kamu Ayub kan ?” tanyaku padanya.
“Ya..
Mengapa kakak bisa tahu namaku ?” Tanyanya heran.
“Emil
sering menceritakan tentang kamu, apakah kamu kekasih Emil?”
Setelah diam sejenak ia menjawab “Bukan.. Aku sahabatnya. Jujur aku mempunyai perasaan lebih pada Emil. Tapi, sampai ia koma sekarang pun aku belum menyatakan kepadanya” Ucapnya sambil menatap kearah Emil yang terbaring koma.
Setelah diam sejenak ia menjawab “Bukan.. Aku sahabatnya. Jujur aku mempunyai perasaan lebih pada Emil. Tapi, sampai ia koma sekarang pun aku belum menyatakan kepadanya” Ucapnya sambil menatap kearah Emil yang terbaring koma.
“Rasanya Emil juga mempunyai perasaan yang sama kepadamu”
“Maksud kakak ?”
“Sebaiknya kamu membaca diary yang Emil tulis ini” Ucapku sambil menyodorkan diary itu padanya.
“Sebaiknya kamu membaca diary yang Emil tulis ini” Ucapku sambil menyodorkan diary itu padanya.
Sejenak aku melihat Ayub yang membaca diary
tersebut terlihat sedih. Terang saja, soalnya aku tahu, diari itu berisi
tentang perasaan Emil pada Ayub selama ini.
Sejak saat itu, Ayub selalu datang menjenguk Emil yang koma setiap hari. Sampai-sampai terkadang aku melihat dia mengerjakan tugas sekolah di ruangan Emil. Sering kuintip dari sisi pintu, Ayub memegang tangan Emil sambil berbicara sendiri entah dengan siapa, tapi aku biarkan saja karena aku tahu Ayub seperti itu untuk menghibur dirinya sendiri dengan cara menganggap Emil telah sadar dari komanya.
Setelah tiga bulan, akhirnya Emil sadar dari komanya. Tidak seperti biasanya, pada hari dimana Emil sadar Ayub malah tidak datang. Padahal Ayub tidak pernah absen mengunjungi Emil sejak hari pertama ia datang menjenguk Emil. Setelah kondisi Emil membaik, aku mulai menceritakan tentang apa yang terjadi selama tiga bulan Emil koma, termasuk perasaan dan tingkah Ayub selama itu. Aku senang melihat Emil mulai tersenyum ketika aku menceritakan tentang Ayub.
Sejak saat itu, Ayub selalu datang menjenguk Emil yang koma setiap hari. Sampai-sampai terkadang aku melihat dia mengerjakan tugas sekolah di ruangan Emil. Sering kuintip dari sisi pintu, Ayub memegang tangan Emil sambil berbicara sendiri entah dengan siapa, tapi aku biarkan saja karena aku tahu Ayub seperti itu untuk menghibur dirinya sendiri dengan cara menganggap Emil telah sadar dari komanya.
Setelah tiga bulan, akhirnya Emil sadar dari komanya. Tidak seperti biasanya, pada hari dimana Emil sadar Ayub malah tidak datang. Padahal Ayub tidak pernah absen mengunjungi Emil sejak hari pertama ia datang menjenguk Emil. Setelah kondisi Emil membaik, aku mulai menceritakan tentang apa yang terjadi selama tiga bulan Emil koma, termasuk perasaan dan tingkah Ayub selama itu. Aku senang melihat Emil mulai tersenyum ketika aku menceritakan tentang Ayub.
“Kakak tahu..? Dalam kondisi enggak sadar aku selalu merasakan Ayub disisiku. Kami mengobrol bersama dan idia selalu mendukung agar aku cepat sembuh” Ucap Emil padaku.
“Yahh mungkin saja apa yang dilakukan Ayub selama ini telah membantu Emil agar sadar dari komanya” pikirku.
“Kata kakak Ayub selalu datang setiap hari, tapi mengapa aku tidak melihat dia sama sekali hari ini..?” Tanya Emil heran.
“Kakak juga enggak tahu, mungkin Ayub ada keperluan yang enggak bisa dia tinggal. Kamu bersabar saja yahh” Jawabku. Sebenarnya aku juga merasakan ada hal yang aneh yang terjadi hari itu.
Beberapa hari telah berlalu, Emil sudah terlihat cukup sehat dan bisa berjalan. Tetapi ia terlihat sangat sedih dan kecewa karena Ayub tidak datang sama sekali semenjak Emil sadar dari komanya. Akhinya siang itu aku memutuskan untuk mengajak Emil kerumah Ayub untuk menemui Ayub. Dirumahnya kami melihat seorang ibu yang terlihat sedang menangis. Dengan memberanikan diri kami menanyainya :
“Permisi.. apakah ini rumah Ayub bu ?” tanyaku pada ibu itu.
Tetapi bukannya menjawab ibu itu malah semakin menangis dan tak berapa lama kemudian seorang perempuan keluar dan mengajak kami agag sedikit menjauh dari ibu itu.
“Kamu Emil kan ..?” Tanya perempuan itu pada Emil.
“Ya kak, Ayub mana ? kenapa aku enggak melihatnya ?”
Sejenak aku melihat perempuan itupun menangis dan masuk kembali kedalam rumah. Beberapa saat kemudian perempuan itu keluar kembali dan menyodorkan sebuah diari yang bertuliskan “Untuk Emil” Dihalaman depannya. Samar-samar disana aku melihat bercak merah, entah apakah itu aku juga belum tahu pada awalnya
“Beberapa hari yang lalu saat Ayub pulang dari menjenguk Emil seperti biasanya. Ayub mengalami kecelakaan yang menyebabkan pendarahan parah pada kepalanya. Tim medis tak dapat menolong banyak dan akhirnya Ayub meninggal pada hari itu sambil memegang Diari ini.” Ucap perempuan itu yang membuat kami sangat kaget. Kontan saja Emil yang kala itu terdiam langsung menangis sambil berteriak nama Ayub. Akupun yang tak kuasa melihat Emil ikut menangis karena tidak menyangka hari itu adalah hari terakhir aku melihat Ayub.
Dengan berbekal alamat dan denah dari perempuan tadi, kami mengunjungi makam Ayub. Disana kami memanjatkan doa. Tetapi Emil yang kala itu masih bersedih sama sekali tidak bisa menahan rasa tangisnya. Di makam itu Emil kemudian membuka diari yang ia dapatkan, di diari itu tertulis persaaan Ayub selama tiga bulan Emil koma. Dan pada tulisan terakhir nya terdapat foto Ayub dan Emil yang dibawahnya tertulis “Ya Allah, jika nanti aku telah tiada, tolong engkau jagalah ia untuku ya allah. Pertemukanlah ia dengan lelaki lain yang bisa membuatnya tersenyum dan mencintai serta menjaganya dengan ikhlas sama seperti yang aku lakukan selama ini. Tulisan itu dibuat beberapa hari yang lalu, tepatnya hari dimana hari terkahir Ayub datang mengunjungi Emil dan hari dimana ia meninggalkan kami semua.
-TAMAT-
By: Kukuh Pambudi
Diberdayakan oleh Blogger.